LANGKAH HUKUM PRIA BERISTRI
YANG MENIKAH MENGAKU DUDA
Berdasarkan UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), pada azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami. Dan seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, dan memperoleh izin dari pengadilan untuk
seorang suami beristri lebih dari seorang (Pasal 9 jo Pasal 3 UUP).
Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila (Pasal 4 ayat
[2] UUP):
- isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain itu, Pasal 5 ayat (1) UUP juga
menentukan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Jadi, tanpa adanya persetujuan istri
pertama dan izin dari Pengadilan, perkawinan kedua tersebut dapat dinyatakan
tidak sah dan dapat diajukan pembatalannya.
Sebenarnya bagi setiap orang yang sudah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun bukan merupakan keharusan secara hukum untuk
mendapatkan izin kedua orang tua untuk menikah (lihat Pasal 6 ayat [2] UUP].
Meskipun, secara moral, sebaiknya izin (restu) kedua orang tua diperoleh
sebelum perkawinan dilangsungkan. Akan tetapi, dalam hal perkawinan dilakukan
antar pasangan yang beragama Islam berlaku ketentuan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Sehingga, dalam hal perkawinan dilakukan antar pasangan yang
beragama Islam berlaku ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut
hukum Islam, seperti diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
(“KHI”), untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a.
Calon suami
b.
Calon Istri
c.
Wali Nikah
d.
Dua orang saksi, dan
e.
Ijab dan kabul
Jadi, menurut Kompilasi
Hukum Islam, kelima syarat tersebut di atas harus dipenuhi agar perkawinan sah.
maka Perkawinan dapat dibatalkan jika (Pasal 71 KHI):
- seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;
- perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;
- perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
- perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974;
- perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
- perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Dengan demikian, jika
pernikahan tanpa adanya wali, pernikahan antara Suami dan istri Keduanya dapat dibatalkan.
Juga dalam Pasal 27 KUHPerdata ditentukan bahwa pada waktu
yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan seorang
perempuan saja dan begitu pula sebaliknya. dalam Kompilasi Hukum Islam, meskipun pada dasarnya
azas perkawinan adalah monogami, tapi bisa saja berubah menjadi poligami. Tentu, dengan syarat-syarat tertentu yang tak gampang, seperti
harus mendapat persetujuan istri.
Terhadap suatu perkawinan yang
tidak memenuhi syarat perkawinan tersebut, maka terhadap perkawinan tersebut
dapat diajukan pembatalannya (lihat Pasal 22 UUP).
Soal pembatalan
perkawinan akibat poligami tanpa persetujuan istri ini, jika tak memenuhi ketentuan
Pasal 4 dan Pasal 5 UU Perkawinan. Pasal 4 UU Perkawinan menyatakan, jika
hendak berpoligami, seorang suami harus mengajukan izin kepada pengadilan
setempat. Sementara itu, pasal 5 UU Perkawinan menegaskan, salah satu syarat
mengajukan permohonan poligami adalah adanya persetujuan dari istri. Alhasil,
perkawinan seorang suami dengan istri keduanya itu dinyatakan tidak sah dan
batal demi hukum. Bahkan, perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.
Jadi, tanpa
adanya persetujuan istri pertama dan izin dari Pengadilan, perkawinan kedua
tersebut dapat diajukan pembatalannya.
Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang bisa dipakai untuk
menjerat suami yang menikah lagi tanpa izin istri pertama (kedua atau ketiga).
Salah satunya yaitu Pasal 279 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 279
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
- barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
- barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
Istri Sah (pertama) dapat melakukan mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan kepada pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan
(lihat Pasal 74 ayat [1] KHI).
0 Comments:
Post a Comment